A. Latar Belakang Masalah
Pola pembangunan SDM di Indonesia selama
ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dan materialisme
tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosi) terlebih SQ (Kecerdasan
spiritual). Pada umunya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling
utama, dan menganggap EQ sebagai pelengkap, sekedar modal dasar tanpa
perlu dikembangkan lebih baik lagi. Fenomena ini yang sering tergambar
dalam pola asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga
sekolah-sekolah negeri atau swasta pada umumnya. Maka tidak heran kalau
banyak remaja siswa Madrasah Aliyah berprestasi tapi tidak sedikit
kemudian mereka yang berprestasi juga menjadi siswa yang urakan dan
mengabaikan tanggungjawabnya dalam menjalani proses pendidikan di
sekolah, terjebak dalam pergaulan bebas, narkoba dan atau budaya tawuran
sering dilakukan. Pengaruh obat-obatan terlarang, budaya kritis yang
cenderung negatif karena mengurangi kesopanan pada guru dan orang tua,
selama ini menjadi ciri adanya perubahan budaya pada remaja siswa di
Indonesia.
Selama empat dawarsa terakhir, setiap
orang dari kepala sekolah dasar hingga pengkotbah dan president telah
berusaha sekuat tenaga mengatasi krisis perkembangan moral/akhlak
anak-anak, tetapi makin lama keadaan justru semakin memburuk. Bila
statistik untuk ini saja sudah mengejutkan, apa lagi cerita dibalik data
tersebut.
Sehingga pada tahun 2003, lahirlah
Undang-Undang SIKDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Nomor 20 Tahun 2003
merupakan awal reformasi pendidikan yang mencoba menyeimbangkan pola
pembangunan SDM dengan mengedepankan SQ (Kecerdasan spiritual), EQ
(kecerdasan emosi) dan tidak mengabaikan IQ (kecerdasan intelektual).[1]
Oleh karena itu, kecerdasan emosional
harus slalu diasah. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa
keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang bersemangat tinggi
dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain,
juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk
kedunia kerja atau ketika sudah berkeluarga[2].
Daniel Golman mengangkat kasus yang
sangat tragis berkenaan dengan orang yang IQ-nya tinggi, tetapi
sebaliknya EQ-nya sangat rendah, yang merupakan tipe-tipe akademis
murni. Jason H. adalah seorang siswa SMU yang cerdas, ia memiliki
cita-cita untuk memasuki fakultas kedokteran Harvard. Akan tetapi, kata
Golman, karena Pologruto,guru guru fisikanya member nilai 80 kepada
Jason dalam satu tes, akibanya menjadi sangat fatal. Jason beranggapan
bahwa dengan nilai ia akan terhalang untuk memasuki fakultas kedokteran,
karena itu dengan sebuah pisau dapur ia tusuk guru fisikanya tersebut.[3]
Disinilah, seperti dikatakan oleh Golman,yang ‘pintar’ itu berubah
menjadi “bodoh,” karena apa yang telah di cita-citakan, hancur
berantakan karena ketidak mampuannya untuk mengendalikan diri (nafsu)
sendiri.
Banyak media-media masa, dan televisi
yang memberitakan tentang rendahnya kecerdasa emosional yang dimiliki
remaja-remaja kita saat ini, sehingga itu berimbas pada Akhlakul karimah
mareka. Seperti yang diberitakan di media net, Kompas.com:
“Lengan Riyan Sofyan (16), siswa kelas II
SMK 1 Budi Utomo, nyaris putus akibat disabet celurit oleh pelajar lain
dalam tawuran antarpelajar di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat,
Kamis (10/9) siang.”[4]
Berita yang lain, “Jakarta
– Warga Kabupaten Lampung heboh. Sebuah klip pemerkosaan beredar dari
HP ke HP. Pelaku dan korbannya masih duduk di bangku SMP. Sungguh miris.
Dalam klip video tersebut tergambar seorang anak perempuan, sebut saja
namanya Bunga, dikerubuti dua teman prianya. Yang mereka lakukan sungguh
tak pantas. Secara bersamaan, keduanya memperlakukan Bunga dengan kasar
dan tidak patut dilakukan anak SMP.” Berdasarkan informasi yang
dikumpulkan detikcom.[5]
Statistik ini dan berita-berita dalam
surat kabar mencerminkan masalah-masalah yang paling gawat.
Berkembangnya kesadaran akan moral/akhlak dapat berpengaruh terhadap
setiap aspek dalam masyarakat kita: keharonisan dalam keluarga,
kemampuan setiap sekolah dalam mengajar, keamanan di jalan, dan
terpadunya nialai-nilai sosial.
Fenomena-fenomena tersebut adalah salah
satu gambaran kurangnnya pengetahuan tentang diri (EQ) tidak dimiliki
peserta didik kita, akibatnya terjadi “kekosongan” yang kemudian di isi
oleh sentiment, kemarahan, kesombangan dan sifat-sifat buruk lainnya,
yang menggerakkan untuk berbuat jahat. Dalam bahasa al-Qura’an
dikatakan, barang siapa menolak pengajaran Allah, maka syaitan akan
mendudukinya untuk melakukan tindakan-tindakan jahat.[6]
Mengetahui diri sendiri berarti
mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki sendiri,
mengetahui kelemahan-kelemahan dan juga perasan dan emosi. Dengan
mengetahui hal tersebut, seseorang mestinya juga bisa mendayagunakan,
mengekspresikan, mengendalikan dan juga mengomunikasikan dengan pihak
lain.[7]
Sekolah merupakan tempat bagaimana anak
belajar berinteraksi dengan orang lain. Sekolah harus membangun budaya
yang mengedepankan aspek moral, cinta kasih, kelembutan, nilai
demokratis, menghargai perbedaan, berlapang dada menerima kenyataan, dan
menjauhkan diri dari nilai-nilai kekerasan. Sekolah harus meningkatkan
kecerdasan emosional (psikologis) yang berpengaruh terhadap faktor Akhlak (tingkah laku) siswa agar dapat mencapai tingkat mutu pendidikan.
Semua permasalahan di atas merupakan
sebuah realita yang mana kecerdasan emosional itu sangat berpengaruh
tehadap tingkah laku (akhlak) seseorang. Pengaruh kecerdasan emosional
bisa digambarkan melalui kekuatan emosi seseorang yang bisa lebih kuat
daripada kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berfikir kalah
cepat dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian
otak yang disebut amigdala, yaitu bagian yang berproses memberikan respon berupa tindakan emosional.
Manakala terjadi sebuah peristiwa, semisal bapak guru matematika killer mengumumkan
ujian mendadak di suatu pagi, seperti apa respon emosional yang
ditampilkan siswa? Terkejut, wajah pucat, tangan gemetar, darah seperti
berhenti mengalir. Betapa kecewa seorang anak karena semalam belum
belajar. Rupanya amigdala, otak emosional anak telah bereaksi
dengan begitu cepat, sebelum otak rasionalnya sempat berfikir. Nyontek!
Itu satu-satunya jalan keluar, pikir amigdala.
Ketika dia tidak memiliki kesempatan
untuk nyontek karena gurunya terus berdiri di depan kelas mengawasi
dengan ketat. Ketegangan yang mengusik pikirannya sudah mulai reda.
Keinginan untuk nyontekpun mulai goyah. Rupanya kini otak rasionalnya
mulai bekerja. Dalam beberapa situasi darurat, otak emosi merespon dalam
bentuk refleksi emosional. Jika pembelajaran emosi sebelumnya negatif,
ia juga akan mengeluarkan reflek negatif pula dan begitu sebaliknya. Itu
sebabnya, pendidikan emosi bagi amigdala harus diberikan sebaik mungkin, dimana pembelajaran emosional disampaikan melalui praktek keseharian dalam kehidupan siswa.
Permasalahan yang banyak terjadi di MAN 03 Malang adalah permasalahan yang berhubungan dengan setting/beground
keluarga siswa, yang sangat mempengaruhi tingkah laku atau akhlak
mereka di sekolah. Anak-anak yang memiliki permasalahan keluarga (broken home)
sering mangalami stress yang berlebihan sehingga akan membuat mereka
tidak besemangat dalam mengikuti pelajaran, dan berlaku acuh-tak acuh
terhadap semua orang. Seperti yang terjadi pada Reni siswa kelas III
jurusan bahasa ini, dia sering tidak bersemangat dalam mengikuti setiap
pelajaran, tidak disiplin dan sering membolos, sehingga membuat dia
hampir di keluarkan dari sekolah. Namun berkat bimbingan-bimbingan yang
dilakukan oleh pihak sekolah membuat dia berubah sampai dia bisa lulus.
Inilah bagaimana sekolah sangat berperan penting dalam membentuk prilaku
seiap siswa menjadi orang yang dewasa dan mandiri.
Maka dari itu, dalam kaitan pentingnya
kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlaknya, maka dalam penyusunan
skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti: ”Pengaruh Emosional Inteligence terhadap Akhlak Siswa kelas II MAN 03 Malang”.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut, “Seberapa besar pengaruh emosional
inteligence terhadap akhlak siswa kelas II MAN 03 Malang?”
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas
tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah “Untuk menjelasakan
seberapa besar pengaruh emosional intelligence terhadap akhlak siswa
kelas II MAN 03 Malang.”
D. Hipotesisi Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Hipotesis alternatif (Ha) : “semakin tinggi kecerdasa emosional siswa, maka semakin baik pula akhlak siswa”
- Hipotesis nihil (Ho) : “semakin rendah kecerdasan emosional siswa, maka semakin buruk pula kecerdasan emosional siswa”
Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
- Bagi individu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor
sekolah dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja
untuk menggali kecerdasan emosional yang dimilikinya.
- Bagi lembaga
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi sekolah dalam membimbing tingkah laku (akhlak) siswa.
Sehingga akan menjadi manusia yang mandiri dan dewasa.
- Bagi ilmu pengetahuan
Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran
mengenai pengaruh kecerdasan emosional terhadap akhlak siswa.
F. Definisi Oprasional
- Pengertian Pengaruh
Pengertian pengaruh menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang,
benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.[8]
Dalam penelitian ini pengaruh adalah yang
menyebabkan sesuatu terjadi, baik secara langsung maupun tidak. Berarti
yang menjadi penyebab emosional itu secara langsung atau tidak terhadap
akhlak siswa.
- Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional menurut Ary Ginanjar
Agustian adalah seseorang yang memiliki ketangungguhan, inisiatif,
optomisme, dan kemampuan beradaptasi.[9]
Hal yang senada di kemukakan oleh Goleman bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
- Pengertian Akhlak
Al-Ghozali mendefinisikan Akhlaq adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan
pikiran (lebih dulu).
Jadi pengertian Akhlak dalam penelitian
ini adalah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan
menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan
dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan
pemikiran. Apabila kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji
menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi
pekerti mulia (akhlakul karimah) dan sebaliknya pabila yang lahir
kelakuan yang buruk, maka disebutlah bukit pekerti yang tercela.
G. Identifikasi variabel penelitian
Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : Kecerdasan Emosional
2. Variabel terikat : Akhlak Siswa
Yang nanti akan dijabarkan kedalam beberapa indikator penelitian di tunjukkan kedalam table 1.
Tabel 1.1
Kecerdasan Emosional |
|
Kahlak
|
|
H. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah
psikologis siswa yang meliputi kecerdasan emosionalnya dan pengaruhnya
terhadap akhlak (tingkah laku siswa). Berdasarkan pertimbangan peneliti
dalam beberapa hal, maka penelitian ini hanya dilaksanakan pada siswa
kelas II MAN 03 Malang.
I. Kerangka Konsep
Jika dibuat dalam suatu kerangka konsep, maka akan terlihat hubungan sebagai berikut:
J. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang
mengangkat tentang materi Emosional Inteligensi di berbagai perguruan
tinggi. Dari beberapa penelitian tersebut terdapat berbagai macam fokus
yang ingin dianalisis, baik mengenai peranannya, hubungannya, dan
urgensi emosional inteligence. Dari beberapa penelitian tentang
emosional dapat desebutkan sebagai berikut.
Skripsi yang ditulis oleh Gatot Nurluqman
pada tahun 1997 Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim
Malang yang berjudul ”Urgensi Kecerdasan Emosional Sebagai Paradigma
Baru Pendidikan Anak Di Lingungan Keluarga.” Penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitatif ini memaparkan tentang pentingya mengembangkan
dan menjadikan paradigma emosional inteligensi sebagai konsep yang harus
mendapat perhatian untuk dikembangkan dalam lingkungan pendidikan
formal maupun non formal, namun penelitian ini juga tidak memisahkan
antara urgensi aspek-aspek kecerdasan yang lain termasuk didalamnya
kecerdasan spritual dengan memberikan nilai yang berlebihan terhadap
aspek kecerdasan emosional sebagai paradigma yang begitu penting dalam
usaha mendidik dan membesarkan anak.
Skripsi selanjutnya berjudul ” Hubungan
antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II
SMU Lab School Jakarta Timur.” Skripsi ini ditulis oleh Amalia Sawitri
Wahyuningsih tahun 2004 Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaf yang mengukur
tentang hubungan antara emosional inteligensi dengan prestasi belajar
siswa. Analisi datanya dengan menggunakan Produc Momen dan nilai
koefisien reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha Cronbach.
Skripsi dengan judul “Peranan Kecerdasan
Emosional dalam Meningkatkan Kualitas Prestasi Belajar Pendidikan Agama
Islam Siswa AMK Kosgoro I Lawang Malang” yang ditulis oleh Andik Bambang
tahun 2004 Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini dilatar belakangi
oleh pendapat para ahli yang mengatakan bahwa IQ hanya mempunyai peran
sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup. Sedangkan 80% sisanya
ditentukan oleh faktor-faktor lain.
Dari beberapa penelitian di atas, ada
yang memiliki persamaan judul maupun pembahasan yang akan dibahas dalam
skripsi yang akan peneliti tulis. Namun persamaan itu hanya terdapat
pada satu segi saja seperti pada Emosional Inteligensi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa belum ada satu skripsipun yang membahas tentang
Pengaruh Kecerdasan Emosional Inteligensi Terhadap Akhlak Siswa, yang
akan dilakukan penelitian pada siswa kelas II MAN 03 Malang.
2. Kecerdasan Emosional
a. Definisi Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin,
yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan
bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut
Daniel Goleman[10]
emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.
Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang,
sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan
fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek
penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator
perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku
intensional manusia.
Beberapa tokoh mengemukakan tentang
macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi
terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka),
Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson
mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman mengemukakan beberapa
macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
1) Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
2) Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,
putus asa
3) Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri
4) Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
5) Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
6) Terkejut : terkesiap, terkejut
7) Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
8) Malu : malu hati, kesal[11]
Dari beberapa pengertian tentang emosi
diatas dapat disipulkan emosi adalah keadaan atau dorongan untuk
bertindak sehingga mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
b. Definisi kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama
kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”[12]
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi
oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat.
Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak
sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi
secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata.
Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.[13]
Sebuah model pelopor lain yentang
kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli
psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan
lingkungan.[14]
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi
terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami
orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja,
bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan
intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam
diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri
sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk
menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara
efektif.”[15]
David Coleman memberikan penjelasan melalui ciri-ciri orang yang memilikin kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:
1) Memiliki pengaruh: melakukan taktik persuasi secara efektif.
2) Mampu berkomuniasi: mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan.
3) Manajemen konflik: merundingkan dan menyelesaikan pendapat.
4) Kepemimpinan: menjadi pemandu dan member ilham.
5) Katalisator perubahan: mengawali, mendoroang, atau mengelola perubahan. [16]
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
c. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey menempatkan
menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang
kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut
menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
1) Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan
suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila
kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan
emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan
emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.[17]
2) Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat
atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan
yang menekan.[18]
3) Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan
dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki
ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu
antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
4) Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang
lain disebut juga empati. Menurut Goleman kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang
orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain.[19]
5) Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan
merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan
dan keberhasilan antar pribadi.[20] Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari
kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen
kecerdasan emosional
3. Definisi Akhlak
Definisi Akhlak
dari segi etimologi adalah berasal dari kata Al-Khalqa dan Al-khulqu
yang bermakna satu, sebagaimana kata Asy Ayarabu dan Asy Syurabu. Tetapi
ketika harokat fathanya disukunkan pada huruf Kha’ dalam kata
al-Khalqu, maka ia bermakna suatu keadaan dan gambaran yang bisa
dirasakan oleh pandangan. Sedangkan tatkala harakatdhammahnya
dikhususkan pada kha’nya, maka ia bermakan suatu kekuatan dan peragai
yang bisa dirasakan oleh pandangan hati.[21]
Sedangkan Al-Qhazali mengatakan
“Bagaimana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan Khuluqnya,
berarti si A itu baik sifat lahirnya dan sifat batinya”. Dalam pengertia
sehari-hari, “akhlaq” umumnya disamakan artinya dengan arti kata “budi
pekerti” atau “kesusilaan” atau “sopan santun” dalam bahasa Indonesia,
dan tidak berbeda pula dengan arti kata “moral” atau “etic” dalam bahasa
ingris. Dalam bahasa Yunani, untuk pengertian “akhlaq” ini dipakai kata
“ethos” atau “ethikos” yang kemudian menjadi “etika” dalam istilah
bahasa Indonesia.
Definisi “akhlak” dilihat dari segi
terminologi di kemukakan oleh para ahli. Diantaranya sebuah definisi
dari Ibnu Maskawaih menyatakan, bahwa yang disebut “akhlaq” adalah:
حال للنفس داعية لها الى افعا لها من غير فكروروية.
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu)”.
Dengan kalimat yang agak berbeda, Iman Al-Ghazali mengemukakan definisi “akhlaq” sebagai berikut:
الخلق عبارةعن هئة في النفس راسخة عنها تصدرالافعال بسهولة ويسرمن غيرحاجةالى فكلروروية.
Akhlaq ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).[22]
Jadi pada hakekatnya Khulk (budi pekerti)
atau akhlak adalah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam
jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam
perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pemikiran. Apabila kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan
terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan
budi pekerti mulia (akhlakul karimah) dan sebaliknya pabila yang lahir
kelakuan yang buruk, maka disebutlah bukit pekerti yang tercela.
b. Dasar Akhlakul Karimah
Akhalakul Karimah, tingkah laku yang
mulia atau perbuatan baik adalah cerminan dari iman yang benar dan
sempurna. Diantara para ahli mnegatakan bahwa akhlak itu adala instinct (garizah)
yang dibawa manusia sejak lahir dan ada pula yang mengatakan bahwa
akhlak itu adalah hasil dari pendidikan dan latihan serta perjuangan.
Pendapat ini dapat memudahkan kita untuk mengkaji akhlak itu dalam
penempatannya pada kedudukannya yang seharusnya. Secara sederhana bahwa
akhlak itu merupakan hasil usaha dalam pendidikan dan melatih
sungguh-sungguh potensi yang dimiliki manusia yang merupkan pembawaan
sejak lahir. Jika pendidikan itu benar, yaitu menuju pada kebaikan, maka
lahirlah perbuatan baik dan jika pendidikannya salah, maka lahirlah
perbuatan yang tercela. Jadi sebenarnya yang menjadi dasar akhlakul
karimah adalah pendidikan dan laihan untuk selalu berbuat baik.[23]
c. Faktor Akhlak
Toto Tasmara dalam bukunya Kecerdasa Ruhaniayah
mengatagorikan akhlakul karimah kedalam sifat-sifat Rasulullah, yang
mana Rasulullahlah yang memiliki akhlakul karimah yang paling sempurna.
Toto Tasmara menyingkatnya dengan kata SIFAT singkatan dari siddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tablihg.
Tentu saja akhlak beliau tidak dapat dibatasi pada lima kata tersebut
karena beliu adalah bentuk hidup dari aktualisasi Al-Qur’an yang sangat
multidimensi dan sangat luas batasannya.[24]
1) Siddiq
Siddiq atau Kejujuran adalah komponen ruhaniyah yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable, respectable, creditable, maqamam mahmudah). Mereka berani menyatakan sikap secra transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan (free from fraud or deception). Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus (openmainded and straight forwardness). Sehingga mereka memiliki keberanian moral yang sangat kuat. Seorang sufi terkenal, yaitu al-Qusyairi, mengatakan bahwa siddiq adalah orang yang benar dalam semua kata, perbuatan, dan keadaan batinnya.[25]
Ada beberapa cirri-ciri orang disebut siddiq
adalah sebagai berikut: jujur pada diri sendiri, jujur terhadap orang
lain, jujur terhadap allah, menyebarkan salam. Sedangkan lawan dari siddiq adalah kidzib yang
berarti berbohong atau berdusta. Islam mengajarkan kita untuk
menghindari sifat bohong karena akan merusak hubungan sosial dan
merugikan diri sendiri.
2) Istiqamah
Istiqamah diterjemahkan sebagai bentuk
kualitas batin yang malahirkan sikap konsisten (taat azas) dan teguh
pendirian untuk menegakkan dan membentuk sesuatu menuju pada
kesempurnaan atau kondisi yang lebih baik, sebagaimana kata taqwim menuju pula pada bentuk yang sempurna (qiwam),
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (at-Tiin:4)
Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Ada tiga derajat peringat istiqamah, yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu (taqwim) menyehatkan dan meluruskan (isqamah), dan berlaku lurus (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa, isqamah berkaitan dengan penyempurnaan, dan istiqamah berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri kepada Allah.”[26] Adapun lawan kata dari istiqhomah tidak teguh pendirian dan tidak konsisten terhadap apa yang dia ucapakan atau perbuat.
Sedangkan ciri-ciri orang yang disebut
sebagai orang yang istiqomah adalah mereka mempunyai tujuan, mereka
adalah orang yang kreatif, mereka sangat menghargai waktu, mereka
bersikap sabar.
3) Fathanah
Pada umunya, fathanah diatikan sebagai kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan terhadap bidang tertentu padahal makan fathanah merupakan kecerdasan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan terutama spiritual.
Seorang yang memiliki sifat fathah,
tidak saja menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang
kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan warna kemahiran professional
yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur. Seorang yang fathanah itu
tidak saja cerdas, tetapi juga memiliki kebijaksanaan atau kearifan
dalam berfikir dan bertindak. Sedangkan lawannya adalah bodoh, yakni
melakukan perbuatan bodoh (jahil).
Cir-ciri orang fathanah adalah Diberi Hikmah Dan Ilmu, mereka berdisiplin dan proaktif, mampu memilih yang terbaik.
4) Amanah
amanah merupakan dasar dari tanggung
jawab, kepercayaan, dan kehormatan serta prinsip-prinsip yang melekat
pada mereka yang cerdas secara ruhani. Di dalam nilai diri yang amanah
itu ada beberapa nilai yang melekat yaitu: 1) Rasa tanggung jawab
(takwa), 2) kecanduan kepentingan dan sense of urgency, 3) Al-Amin, krideble, ingin dipercaya dan mempercayai, 4) Hormat dan di hormati (honorable).[27] Lawan dari kata amanah adalah berkhianat atau tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi tanggungannya.
5) Tablihg
Kata tablihg di dalam al-Qur’an disebut dalam bentuk kata kerja (fi’il)
sedikitnya ada sepuluh kali (al-Maidah:67, al-Azhab: 62 68, al-Ahqaaf:
23, al-Jin: 28, al-A’raaf: 79, 92, Huud: 57) yang merupakan bentukan
dari akar kata balagha-yublahgu-tabliighan.artinya proses menyampaika sesuatu untuk mempengaruhi orang lain melalui lambing-lambang yang berarti (the process of transmitting the meaningful symbol).
Nilai tablihg telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan, pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya insani dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu.
K. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di MAN
03 Malang, Tepatnya di Jl. Bandung Gg.03 Malang, letak geagrafis lokasi
sekolah berada pada kawasan dekat dengan pemukiman masyarakat heterogen
dan pusat-pusat perbelanjaan, sehingga itu tidak menutup kemungkinan
para siswa akan terpengaruh terhadap lingkungan sekiatar. Seperti
membolos sekolah karena jalan-jalan ke mal. Oleh karena itu diperlukan
kajian pengaruh kecerdasan emosional inteligensi terhadap akhlak siswa
kelas II MAN 03 Malang.
2. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitan ini menggunakan
pendekatan kuantitatif karena data yang kami ambil dalam bentuk angka
akan diproses secara statistik.[28]
Dan dideskripsikan secara deduksi yang berangkat dari teori-teori umum,
lalu dengan observasi untuk menguji validitas keberlakuan teori
tersebut ditariklah kesimpulan. Kemudian di jabarkan secara deskriptif,
karena hasilnya akan kami arahkan untuk mendiskripsikan data yang
diperoleh dan untuk menjawab rumusan.
Sedangkan jenis penelitiannya berdasarkan tempat adalah penelitian lapangan (field research) dan
studi pustaka. Studi pustaka digunakan untuk melakukan pengumpulan data
dari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
dalam skripsi ini. Penelitian lapangan (field research)
digunakan pengumpulan data dari objek penelitian, baik berupa data
kuantitatif maupun data kualitatif yang diperlukan, dan jenis penelitian
berdasarkan tekniknya adalah Survey Research (Penelitian Survei), karena tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel yang diteliti.
3. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan Correlation Studies, rancangan
ini sangat sederhana, dua sekor dikumpulkan, satu set untuk satu
variabel yang dicakup dalam penelitian dihubungkan dengan variabel
lainnya. Koefisien relasi menunjukkan kekuatan hubungan antar varibel.[29]
4. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kuantitatif
ini adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer diambil
berdasarkan hasil pengumpulan data melalui angket yang dibagikan kepada
responden secara langsung, serta melalui observasi langsung terhadap
objek. Sedangkan data sekunder didapatkan melalui laporan prestasi
belajar siswa yang dapat berupa buku raport.
5. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Menurut Burhan Bungin populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum)
dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, segala, nilai, paristiwa, sikap hidup, dan
sebagainya, sehingga objek-obejk ini dapat menjadi sumber data
penelitian.[30] Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II MAN 03 Malang yang berusia 16-17 tahun.
Jumlah seluruh siswa kelas II MAN 03
Malang selurunya adalah 252 siswa. Karena terlalu banyaknya populasi
maka perlu diadakan teknik pengambilan sampel dengan menggunkan cara
penarikan sample dari populasi. Sampel yang digunakan adalah sampling
random (random sampling), dengan penentuan besar sampelnya
berdasarkan pendapat Suharsimi Arikunto yang mengatakan bahwa jika
jumlah populasinya lebih dari 100 maka dapat diambil 15% dari populasi.[31]
6. Instrumen Penelitian
Suatu alat ukur dapat dinyatakan sebagai
alat ukur yang baik dan mampu memberikan informasi yang jelas dan akurat
apabila telah memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan oleh
para ahli psikometri, yaitu kriteria valid dan reliabel. Oleh karena itu
agar kesimpulan tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh
berbeda dari keadaan yang sebenarnya diperlukan uji validitas dan
reliabilitas dari alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
a. Uji Validitas
Validitas lebih berupa derajat kedekatan
kepada kebenaran dan bukan masalah sama sekali banar atau sekali salah.
Validitas adalah suatu proses yang tak perah berakhir. Suatu cara
pengukuran yang telah lama sekali diyakini akan validitasnya, suatu
ketika ditemukan bukti-bukti baru aka kesalahan atau kekurangannya,
sehingga dilakukan penyempurnaan atau peurbahan prosedur dan alat ukur
tersebut.[32]
Uji validitas item yaitu pengujian
terhadap kualitas item-itemnya yang bertujuan untuk memilih item-item
yang benar-benar telah selaras dan sesuai dengan faktor yang ingin
diselidiki. Cara perhitungan uji coba validitas item yaitu dengan cara
mengorelasikan skor tiap item dengan skor total item.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan
validitas konstruk (construct validity) yaitu validitas yang mengacu
pada konsistensi dari semua komponen kerangka konsep. Untuk menguji
tingkat validitas instrumen penelitiannya, maka digunakan rumus teknik
Regresi liner sederhana.
Bagian dari uji validitas yang dipakai
dalam penelitian ini adalah melalui analisis butir-butir, dimana untuk
menguji setiap butir skor total valid tidaknya suatu item dapat
diketahui dengan membandingkan antara angka regresi linier sederhana (r
Hitung) pada level signifikansi 0,05 nilai kritisnya. Instrumen
penelitian ini dikatakan valid dimana nilai korelasinya lebih besar dari
0,3.
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah menunjuk pada tingkat
keterdalaman sesuatu. Data yang reliabel adalah data yang dihasilkan
dapat dipercaya dan diandalkan. Apabila datanya memang banar-benar
sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kali pun diambil, tetap akan
sama.[33]
Uji realibilitas adalah dengan menguji
skor antar item dengan tingkat signifikansi 0,05 sehingga apabila angka
korelasi yang diperoleh lebih besar dari nilai kritis, berarti item
tersebut dikatakan reliabel. Uji Alpha Cronbach digunakan untuk menguji
realibilitas instrumen ini.
Rumus Alpha Cronbach[34]:
7. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Dalam menggunakan metode observasi cara
yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko
pengamatan sebagai instrument. Format yang disusun berisi item-item
tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi
Dari penelitian berpengalaman diperoleh
suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat,
tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke
dalam suatu skala bertingkat. Misalnya kita memperhatikan reaksi
penonton televisi, bukan hanya mencatat bagaimana reaksi itu, dan berapa
kali muncul, tetapi juga menilai reaksi tersebut sangat, kurang, atau
tidak sesuai dengan yang kita kehendaki.
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi dilakukan dengan cara
mencari data tentang hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda
dan sebagainya.
Lexi J. Moleong mendefinisikan dokumen
sebagai setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan
karena adanya permintaan aseorang penyidik.[35]
Menurut Guba dan Lincoln, (1981) Penggunaan metode dokumen dalam penelitian ini karena alasan sebagai berikut.[36]
1) Merupakan sumber yang stabil, kaya, dan mendorong.
2) Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.
3) Berguna dan sesuai dengan
penelitian kualitatif karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan
konteks, lahir dan berada dalam konteks.
4) Tidak reaktif sehingga tidak sukar ditemukan dengan teknik kajian isi.
5) Dokumentasi harus dicari dan ditemukan.
6) Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.
c. Angket
Metode angket merupakan serangkaian atau
daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, kemudian dikirim untuk
diisi oleh responden. Setelah diisi, angket dikirim kembali atau
dikembalikan kepeneliti.[37]
Bentuk angket yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bersifat langsung dan tertutup. Artinya angket
yang merupakan daftar pertyanyan diberikan langsung kepada mahasiswa
sebagai subyek penelitian, dan dakam mengisi angket, mehasiswa
diharuskan memilih karena jawaban telah disediakan.
8. Analisis Data
Secara garis besar, pekerjaan analisis data meliputi tiga tahap utama:
- Persiapan: mengecek nama, isian, dan macam data.
- Tabulasi : memberi skor, memberi kode, mengubah jenis data, dan coding dalam coding form.
- Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian:
- Penelitian deskriptif : presentase dan komparasi dengan criteria yang telah ditentukan
- Penelitian komparasi: dengan berbagai teknik korelasi sesuai dengan jenis data.
- Penelitian eksperimen: diuji hasilnya dengan t-test.
Namun oleh karena data yang dikumpulkan
baru data mentah, maka sebelum di analisis, data mentah tersebut diolah
lebih dahulu sebelum dianalisis dengan tehnik analisis tertentu. Dan
secara umum teknik analisa data untuk kuantitatif menggunakan metode
statistic, dan agar mudah biasanya di bantu oleh program komputer,
seperti SPSS, SPS, Minitab, MS exel, dll. Terdapat dua macam statistik
yang digunakan untuk analisa data dalam penelitian, yaitu: statistik
deskriptif dan statistik inferensial. Statistik inferensial meliputi
statistik parametris dan statistik non parametris. Dalam penelitian ini,
menggunakan statistik inferensia dan juga deskriptif, karena kedua-
duanya sangat membantu dalam penelitian ini.
Bila persyaratan penggunaan teknik
analisis statistik benar, maka hasilnya dapat digunakan untuk menerima
atau menolak hipotesis atau untuk menolak atau menerima teori yang
diujinya. Sebagimana diketahui bahwa tujuan akhir penelitian kuantitatif ialah untuk menguji teori.
Oleh karena itu, lengkapnya data yang dikumpulkan dari uji validitas
dan uji reliabilitas merupakan criteria mutu hasil penelitian. Sebab,
data yang tidak valid dan tidak reliable berarti data itu salah dan
tidak dapat dipercaya, sehingga kalau data itu dianalisis, hasilnya juga
akan salah.
Berdasarkan skala pengukurannya, jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data interval dan
ordinal, data interval yaitu data yang selain mengandung unsur penamaan
urutan juga memiliki sifat interval (selangnya bermakna). Disamping itu
data ini memiliki ciri angka nolnya tidak mutlak. Skala interval
memiliki ciri matematis additivity, artinya kita dapat menambah atau
mengurangi. Sedangkan data ordinal adalah digunakan untuk mengurutkan
objek dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi atau sebaliknya.
Ukuran ini tidak memberikan nilai absolut terhadap objek, tetapi hanya
memberikan peringkat saja. Jika kita memiliki sebuah set objek yang
dinomori, dari 1 sampai n, misalnya peringkat 1, 2, 3, 4, 5 dan
seterusnya, bila dinyatakan dalam skala, maka jarak antara data yang
satu dengan lainnya tidak sama. Ia akan memiliki urutan mulai dari yang
paling tinggi sampai paling rendah. Atau paling baik sampai ke yang
paling buruk. Misalnya dalam skala Likert.
Dalam penelitian ini, akan digunakan
analisis data dengan metode statistik parametik. Karena statistik
parametik dapat dilakukan jika sample yang akan dipakai berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Jumlah data yang digunakan dalam
analisis ini minimal 30 sampel dan menggunakan yang berupa data interval
dan ordinal. Ini sangat berkaitan dengan data Interval yang telah
digunakan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, menggunakan
analisis korelasi. Karena digunakan untuk menguji hubungan antara 2
variabel atau lebih, apakah kedua variabel tersebut memang mempunyai
hubungan yang signifikan, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat
hubungan tersebut.
Untuk menguji penerimaan atau penolakan Ho telah ditentukan untuk menggunakan 2 arah (two sided test). Tahap dari penggunaan rumus korelasi diatas adalah:
a) Menggunakan rumus korelasi untuk mendapatkan r hitung
b) Menentukan tingkat signifikansi (level of significance) yaitu sebesar 5 %.
c) Melihat nilai kritis menurut table nilai t dengan tingkat signifikansi sebesar 5 %.
d) Mengambil kesimpulan apakah menerima atau menolak Ho dengan membandingkan antara nilai r hitung dan r tabel.
L. Sistematika Penulisan Pembahasan
Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas
dan menyeluruh mengenai pembahasan skripsi ini. Maka secara global
penulis merinci dalam sistematika pembahasan ini sebagai berikut.
Bab I, merupakan kerangka dasar yang
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab II, berisi tentang kajian pustaka,
dengan bab ini dapat dijadikan dasar untuk penyajian dan analisis data
yang ada relevansinya dengan rumusan masalah.
Bab III, berisi tentang
metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian, diantaranya:
pendekatan dan jenis penelitia, data dan sumber data, populasi dan
sampel, intrumen, pengumpulan data, dan análisis data.
Bab IV, berisi tentang laporan hasil penelitian terdiri atas latar belakang obyek, penyajian dan analisis data.
Bab V, berisi tentang paparan data dan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan.
Bab VI, penutup dari seluruh rangkaian pembahasan yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
M. Pustaka Sementara
Agustian, Ary Ginanjar. 2001.Rahasian Sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual (The ESQ way 165). Jakarta: Arga.
Anne Craig, Jeanne. 2004. Bukan seberapa cerdas diri anda tetapi bagaiman anda cerdas/alih bahsa Arvin saputra. Batam: Interaksara.
Aritkunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: rieneka.
Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif). Malang: UIN Press.
Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Appolo.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2002. Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mu’adz, Haqiqi Ahmad. 2003. Berhias dengan 40 Akhlakul Karimah (terjemahan). Malang: Gajayana Tauhid Press.
Shapiro, Lawrence E. 1997. Mengajarkan Emosional Inteligensi Pada Anak/Lawrence E. Shapiro; alih bahasa, Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shofiana, Ana. Video Pemerkosaan Anak SMP Beredar di Lampung. (http://m.detik.com./jumat, 11 September 2009 | 08:50 WIB)
Suharsono. 2005. Melejitkan IQ, EQ, SQ. Depok, Inisiasi Press.
Tuti. Kecerdasan Emosional (http;//tuti.azzahra-university.ac.id. Selasa 15-12-2009. 12:00 WIB)
Tawuran, Lengan Siswa Nyaris Putus. (Http;//Kompas.com. Jumat, 11 September 2009 | 08:45 WIB)
Tatapangarsa, Humaidi. 1982. Pengantar Ilmu Akhlak. Surabaya, PT. Bina Ilmu.
Toto Tasmara. 2001. Kecerdasan Ruhaniyah (Transendental Inteligence). Jakarta: Gema Insani.
Yuswianto. 2002. “Metodologi Penelitian.” Buku Ajar, Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
[1] Tuti. Kecerdasan Emosional/ http;//azzahra-university.ac.idselasa 15-12-2009. 12:00 WIB
[2] Jeanne Anne Craig. Bukan seberapa cerdas diri anda tetapi bagaiman anda cerdas/alih bahsa Arvin saputra. (Batam: Interaksara,2004).hlm 19
[3] Suharsono. Melejitkan IQ, EQ, SQ. (Depok: Inisiasi Press,2005). hlm 115
[4] http;//Kompas.com. Tawuran, Lengan Siswa Nyaris Putus. Jumat, 11 September 2009 | 08:45 WIB.
[5] Ana Shofiana S. Video Pemerkosaan Anak SMP Beredar di Lampun. http://m.detik.com./jumat, 11 September 2009 | 08:50 WIB.
[6] Suharsono. Op., Cit., hlm 116
[7] *Ibid. hlm 119
[8] Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. (Surabaya: Appolo, 1997) hlm 484
[9] Ary Ginanjar Agustian. Rahasian Sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual (The ESQ way 165). (Jakarta: Arga, 2001). Hlm 41
[10] Daniel Golman. Emitional Intelligence (terjemahan). (Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002). hlm. 411
[11] *Ibid. Hlm. 411
[12] Lawrence E Saphiro. Mengajarkan Emosional Inteligensi Pada Anak/Lawrence E. Shapiro; alih bahasa, Alex Tri Kantjono. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1997). Hlm. 8
[13] *Ibid. hlm. 10
[14]Daniel Goleman. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama 2000). Hlm. 180
[15] Daniel Goleman (2002). Op., Cit., hlm. 52
[16] Toto Tasmara. Kecerdasan Ruhaniyah (Transendental Inteligence). (Jakarta: Gema Insani, 2001). Hlm 229
[17] *Ibid. Hlm. 64
[18] *Ibid. Hlm. 77-78
[19] *Ibid. Hlm. 57
[20] *Ibid. Hlm. 59
[21] Ahmad Mu’adz Haqiqi. Berhias dengan 40 Akhlakul Karimah (terjemahan). (Malang: Gajayana Tauhid Press, 2003). Hlm 20
[22] Humaidi Tatapangarsa. Pengantar Ilmu Akhlak. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982). Hlm. 7-8
[23] Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT. (Raja Grafindo Persada, 2002). Hlm. 46
[24] Toto Tasmara. Op.,Cit., Hlm 189
[25] *Ibid. hlm. 190
[26] *Ibid. hlm. 203
[27] *Ibid. hlm. 222
[28] Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta: Rieneka Cipta. 2002). Hlm. 10
[29] Yuswianto. “Metodologi Penelitian.” Buku Ajar, Fakultas Tarbiyah UIN Malang 2002. Hlm. 23-26
[30] Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. (Jakarta: Kencana, 2006). Hlm. 100
[31] Suharsimi Arikunto. Op., Cit., hlm. 112
[32]
Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur. Metodologi Penelitian Pendidikan
(Pendekatan Kuantitatif). (Malang: UIN Press, 2009). Hlm 195
[33] Suharsimi Arikunto. Op., Cit., hlm 154
[34] *Ibid. hlm 171
[35] Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007) hlm. 216
[36] *Ibid. hlm 217
[37] Burhan Bungin. Op., Cit., hlm 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar